Apa Itu Filsafat (2): Filsafat Itu Ilmu yang Abstrak dan Tidak Bermanfaat?

Filasfat itu “berpikir mengenai pemikiran”. Karena bersifat abstrak, apa itu lalu menjadi tidak berfaedah?

Secara sangat sederhana, filsafat memang dimengerti sebagai “cinta akan kebijaksanaan” – pengertian leksikal yang diturunkan dari kata “philosophia”. Dalam arti itu, filsafat dimengerti sebagai disiplin – jika bukan sebagai ilmu – yang bisnis utamanya adalah “studi atau kajian atas pengetahuan” atau “berpikir tentang pemikiran”.

Apakah “pemikiran” itu sehingga diposisikan sebagai objek kajian atau objek berpikir dalam kajian filosofis? Pemikiran (thinking) secara leksikal mengandung dua makna sekaligus. (1) Pemikiran merujuk kepada tindakan manusia dalam menggunakan kemampuan otaknya untuk memikirkan sesuatu (objek) dan menghasilkan pengetahuan. (2) Pemikiran juga merujuk kepada opini atau putusan subjek (manusia sebagai individu yang sedang berpikir) mengenai sesuatu. Nah, tugas orang yang memelajari dan memraktikkan filsafat adalah memikirkan tindakan mengetahui dan hasil akhirnya. Pada level yang paling sederhana, hasil akhir sebuah pemikiran adalah putusan, tetapi kemudian berkembang menjadi opini, dan mencapai level tertinggi pada pengetahuan ilmiah.

Sebuah Contoh

Mari kita ambil satu contoh dari sejarah pemikiran modern. Karl Marx (Lahir di Trier, Jerman, 5 Mei 1818. Meninggal di London, 14 Maret 1883) mengemukakan pemikirannya mengenai “agama”. Tentang “agama”, filsuf keturuan Yahudi itu mengatakan:

“Fondasi dari kritisisme irelijius adalah: Manusia menciptakan agama, agama tidak menciptakan manusia. Agama, tentu saja, adalah kesadaran diri sendiri dan kepercayaan diri dari seorang manusia yang bisa belum memenangkan dirinya sendiri, atau sudah kalah terlebih dahulu. Tapi manusia bukanlah makhluk abstrak yang dijongkokkan di luar dunia. Manusia adalah dunia dari manusia, – negara, masyarakat. Negara dan masyarakat ini menciptakan agama, yang merupakan kebalikan dari kesadaran akan dunia, karena mereka adalah dunia yang terbalik. Agama adalah teori umum atas dunia ini, sebuah kompendium ensiklopedis, logikanya dalam bentuk populer, aspek spiritual, antusiasmenya, sanksi moralnya, kesempurnaannya yang datar, dan basis universal dari penghiburan dan pengadilan. Perjuangan melawan agama, dengan demikian, adalah secara tidak langsung adalah perjuangan melawan dunia yang aroma spiritualnya adalah agama.

Penderitaan relijius adalah, pada satu dan saat yang sama, ekspresi dari penderitaan yang nyata dan protes melawan penderitaan yang nyata. Agama adalah desah napas keluhan (sigh) dari makhluk yang tertekan, hati dari dunia yang tak punya hati, jiwa dari kondisi yang tak berjiwa. Agama adalah opium bagi masyarakat.

Penghapusan dari agama sebagai ilusi kebahagiaan dari orang-orang, adalah tuntutan atas kebahagiaan yang nyata. Untuk meminta mereka menyerahkan ilusi atas kondisi mereka sama saja meminta mereka menyerah atas kondisi yang butuh ilusi. Kritisisme atas agam adalah, dengan demikian, dalam bentuk embrio, sebuah kritisime atas lembah airmata yang agama merupakan lingkaran cahaya (halo)nya. (Marx, K. 1976. Introduction to A Contribution to the Critique of Hegel’s Philosophy of Right. Collected Works, v. 3. New York).

Mereka yang memelajari atau memraktikkan filsafat tidak akan merasa puas dan menerima pemikiran Marx mengenai agama tanpa sikap kritis. Berbagai pertanyaan akan dikemukakan, entah sekadar klarifikasi sampai penolakan yang sangat argumentatif. Dan itu harus dilakukan sebagai CARA BERFILSAFAT.

Pertanyaan-pertanyaan Filsafat

Demikianlah, orang bisa mengajukan beberapa pertanyaan berikut.

  1. Apa yang Karl Marx maksudkan dengan agama? Apakah Marx merujuk ke agama tertentu yang telah menjadi candu itu? Apa yang dimaksud dengan candu? Dan sebagainya. Ini adalah pertanyaan-pertanyaan epistemology.
  2. Apakah dengan mengatakan bahwa agama adalah candu, dan bahwa manusia harus mencapai kesadaran diri sendiri, menemukan kekuatan dan mengorganisasi diri supaya bisa membebaskan diri dari agama, Marx sedang memromosikan kehidupan sosial tanpa keyakinan pada Tuhan? Bukankah kehidupan sosial tanpa agama sebagai dasarnya akan membawa masyarakat ke materialisme? Bukankah Tuhan dapat menjadi kekuatan liberative yang menumbuhkan kesadaran kritis subjek dan mendorong upaya pembebasan dari belenggu agama? Dan sebagainya. Ini adalah pertanyaan-pertanyaan metafisika.
  3. Apakah kesimpulan bahwa agama adalah opium didukung oleh premis-premis yang memadai? Apakah premis-premis tersebut mendapatkan pembuktiannya pada realitas sehingga dapat dianggap sebagai pernyataan-pernyataan faktual? Dan sebagainya. Ini termasuk pertanyaan-pertanyaan logika.
  4. Jika benar bahwa agama adalah opium padahal agama seharusnya tidak menjadi opium karena kekuatan liberatifnya, apakah itu berarti agama telah menjadi alat kekuasaan di tangan penguasa tertentu yang lalim? Mengapa penyalahgunaan agama sebagai alat politik berjalan beriringan dengan kepentingan kapitalis dalam masyarakat industry, era di mana Karl Marx hidup? Ini dapat merupakan pertanyaan-pertanyaan historis-sosiologis-filosofis, tetapi bisa juga menjadi pertanyaan filsafat politik.
  5. Dan seterusnya.

Watak Filasfat

Berangkat dari definisi filsafat yang sederhana itu, contoh, dan beberapa pertanyaan yang diajukan, langsung kelihatan bahwa pertama, filsafat memang bekerja dengan pertanyaan. Dan itulah senjata utama filsafat, yakni mengajukan pertanyaan untuk menguji sejauh mana pernyataan, opini, bahkan ilmu pengetahuan itu memadai. Kerja seorang filsuf adalah berpikir dan mengajukan pertanyaan.

Kedua, pertanyaan-pertanyaan yang diajukan dapat dikategorikan berdasarkan disiplin dan cabang filsafat. Demikianlah, ada pertanyaan yang menyentuh cabang metafisika, epistemology, logika, filsafat politik, etika, dan sebagainya. Cabang-cabang filsafat ini akan kita bahas di kesempatan lain.

Ketiga, pertanyaan-pertanyaan diajukan pertama-tama bukan didorong oleh rasa benci, rasa tidak suka atau penolakan dengan alasan-alasan yang subjektif atau rasial, tetapi karena dorongan pikiran itu sendiri untuk memahami sesuatu secara lebih mendalam dan holistic. Dan ini sekaligus menegaskan hakikat filsafat yang selalu skeptis dalam arti tidak memercayai sesuatu begitu saja (taken for granted), mendalam, argumentatif, dan pertimbangan menyeluruh (dari banyak sudut pandang).

Keempat, dorongan untuk memahami sesuatu secara lebih mendalam itu bisa jadi dipicu oleh pikiran tertentu yang kontroversial dalam arti melawan pengetahuan umum, bertentangan dengan akal sejat, menggugat nilai moral yang selama ini dihidupi masyarakat, bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan universal, mengandung kesesatan berpikir, membahayakan kehidupan bersama karena mendompleng ideologi yang destruktif, dan sebagainya.

Kelima, pengetahuan akhir yang dihasilkan adalah sebuah pemikiran filosofis yang memadai, argumentatif, dapat dijadikan sebagai dasar untuk membangun pemikiran lebih lanjut, mendalam – setidak-tidaknya ketika itu dirumuskan – dan terbuka bagi proses berpikir selanjutnya. Di sinilah kita berhadapan dengan sifat lain dari filsafat sebagai dialektika pemikiran. Filsafat berkembang karena terjadi pergulatan pemikiran, apa yang oleh Hegel dirumuskan sebagai dialektika tesis – antithesis – sintesis.

Harus diakui, pertanyaan-pertanyaan filosofis memang bersifat mendasar sekaligus abstrak. Disebut mendasar karena menanyakan hakikat, sumber terdalam, sebab-akibat terdalam, alasan terdalam, dan dan sebagainya. Dan karena itu, memiki watak abstrak dalam arti pertanyaan-pertanyaan itu tidak langsung bisa dikembalikan kepada basis materialnya.

Jadi, ketika Anda bertanya: “Jika Tuhan adalah maha kuasa dan omnipresence (bisa hadir di mana saja melampaui ruang dan waktu), dan segala sesuatu dapat Dia kendalikan, mengapa Dia tidak menghentikan bencana tsunami di Pandeglang yang merenggut nyawa personil Grup Band Seventeen? Jika Tuhan bersifat omnipresence dan karena itu Dia pasti hadir ketika bencana itu terjadi dan Dia tidak mencegahnya, bukankah itu berarti (1) Tuhan memang tidak Maha Kuasa, atau (2) Tuhan memang merupakan sosok yang senang melihat manusia mengalami musibah?

Inilah contoh pertanyaan-pertanyaan yang sangat mendasar (foundational) sekaligus abstrak. Mendasar karena membawa Anda ke pengetahuan mendasar mengenai eksistensi Allah berhadapan dengan berbagai tragedi yang dihadapi manusia. Dan abstrak karena jawaban terhadapnya tidak bisa diberikan dengan merujuk kepada peristiwa-peristiwa historis/faktual tertentu, meskipun peristiwa-peristiwa itu tetap dibutukan sebagai pencetus kesadaran dan gugatan kritis manusia.

Di kesempatan lain kita masih akan bicarakan beberapa cabang filsafat yang penting. Melalui pembahasan atas cabang-cabang filsafat, kita tidak hanya mengerti wilayah kajian filsafat, tetapi juga jenis pengetahuan yang dihasilkan.

Catatan Penutup

Untuk sementara saya mau mengatakan hal sederhana ini sebagai catatan penutup. Filsafat memang subjek yang sangat luas. Ini yang memosisikan kajian filosofis sebagai hal yang sulit atau setidaknya kurang menarik. Salah satu pendekatan yang biasanya ditempuh adalah dengan “memaksa” filsafat menanggapi masalah-masalah konkret yang dihadapi manusia. Dan tidak semua filsuf bisa melakukan hal ini dengan baik. Di Indonesia, Rocky Gerung termasuk berhasil memopulerkan filsafat karena mampu mengeksplorasi narasi-narasi besar filsafat untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan konkret yang dihadapi masyarakat Indonesia. Dan itu hal yang baik.[]

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.