Nilai dan Norma

Pengantar: Sekali lagi dengan senang hati saya menerbitkan makalah para mahasiswa saya di FK Unika Atma Jaya Jakarta. Makalah ini merupakan karya Kelompok PBL 2, dengan rujukan utama pada buku ETIKA karya Prof. K. Bertens dan upaya aplikasi yang mereka usahakan sendiri. Untuk itu, saya berterima kasih kepada para mahasiswa Kelompok PBL 2, terutama (1) James S (2015-060-007); (2) Vincensia Valentine (2015-060-008); (3) Fani Agusta Chandra (2015-060-009); (4) Michell Yodanta (2015-060-021); (5) Gabriela Widjaja (2015-060-022); (6) Vidya Gani (2015-060-023); (7) Jessica Fanlie (2015-060-039); (8) Maybelline (2015-060-040); (9) Nicholas Andrian SĀ Ā Ā Ā  2015-060-041; (10) Jessica Maybella (2015-060-042); (11) Novita Permatasari (2015-060-052); (12) Tania Christabel (2015-060-053); (13) Tea Karina Sudharso (2015-060-055).

Nilai tidak mudah untuk dijelaskan pengertiannya. Nilai adalah sesuatu yang berharga, sesuatu yang disukai, sesuatu yang baik, memiliki konotasi positif. Kebalikan dari nilai adalah non-nilai yang bisa disebut juga disvalue atau berkonotasi negatif. Nilai mempunyai komponen-komponen intelektualĀ  dan emosional, nilai akan selalu dipegang teguh oleh orang yang memegang nilai tersebut karena merekalah yang menimbulkan nilai- nilai itu. Salah satu untuk menjelaskan pengertian nilai adalah dengan membandingkannya dengan fakta. Jika kita berbicara tentang fakta, kita maksudkan sesuatu yang ada atau berlangsung begitu saja. Jika kita berbicara tentang nilai, kita maksudkan sesuatu yang berlaku, memikat atau mengimbau kita. Nilai harus bisa dibedakan dari fakta. Nilai berperan dalam suasana apresiasi atau penilaian dan akibatnya dapat berbeda antara satu orang dengan yang lainnya. Sedangkan fakta ditemui dalam konteks deskripsi, di mana semua orang melukiskannya atau menguraikannya dengan prinsip yang kurang lebih sama dan dapat diterima oleh semua orang. Fakta adalah sesuatu yang bisa dibuktikan dan juga tidak bisa diganggu gugat. Jadi, fakta adalah sesuatu yang ada buktinya misalnya gunung meletus. Gunung yang meletus tentu hal itu tidak bisa berubah. Tetapi nilai berbeda bagi setiap orang bagi orang- orang tertentu misalnya orang geologi mungkin kondisi ini menguntungkan (positif) karena mereka bisa belajar melalui hal ini, tetapi bagi orang lain misalnya pemilik rumah di daerah gunung itu merasa kondisi itu merugikan (negatif) karena karena gunung meletus ini mereka kehilangan harta benda mereka.

Nilai merupakan pernyataan bersama sebagai pegangan individu dalam suatu kelompok tetapi tidak secara universal karena hanya berlaku dalam satu daerah saja dan tidak melibatkan orang lain diluar daerah itu. Nilai dapat dikatakan sebagai inti dalam suatu kelompok yang harus ditaati.

Nilai memiliki beberapa ciri ā€“ ciri yaitu :

  • Nilai berkaitan dengan subjek, kalo tidak ada subjek maka tidak ada yang menilai. Peraturan tanpa ada yang menilai tidaklah bisa berguna.
  • Nilai tampil dalam suatu konteks praktis, subjek ingin membuat sesuatu
  • Nilai menyangkut sifat yang ā€œditambahā€ oleh subjek pada sifat-sifat yang dimiliki oleh objek. Suatu objek yang sama menimbulkan nilai yang berbeda-beda.

Ada banyak macam nilai, seperti nilai ekonomis, nilai estetis ataupun nilai dasar yang merupakan syarat untuk mewujudkan semua nilai yang lain. Salah satu nilai yang penting adalah nilai moral. Walaupun nilai moral ini tidak terpisah dari nilai-nilai lainnya, nilai ini berbeda dari nilai- nilai lainnya karena nilai ini merupakan nilai yang paling tinggi, yang menentukan benar atau salahnya kita. Nilai lain tidak harus memiliki kebebasan dan tanggung jawab. Tetapi nilai moral kebebasan dan tanggung jawab adalah mutlak karena tanpa itu tidak dapat terjadi nilai moral. Untuk lebih jelasnya lagi, berikut ini adalah uraian dari ciri-ciri nilai moral dibandingkan dengan nilai non-moral:

  • Nilai moral berkaitan dengan pribadi manusia yang bertanggung jawab. Nilai moral mengakibatkan bahwa seseorang bersalah atau tidak bersalah karena tanggung jawabnya. Suatu nilai moral hanya bisa diwujudkan dalam perbuatan-perbuatan yang sepenuhnya menjadi tanggung jawab orang bersangkutan. Manusia sendiri membuat tingkah lakunya menjadi baik atau buruk dari sudut moral. Hal ini tergantung pada kebebasan manusia itu sendiri. Kebebasan dan tanggung jawab menjadi suatu syarat mutlak bagi nilai moral.
  • Nilai moral berkaitan dengan hati nurani karena mewujudkan nilai-nilai moral merupakan ā€œimbauanā€ dari hati nurani. Ciri khas nilai moral ini adalah menimbulkan hati nurani kita berbicara ketika kita melakukan sesuatu. Apabila kita melakukan sesuatu yang menentang nilai norma maka hati nurani kita akan menuduh diri sendiri. Apabila kita melakukan sesuatu yang sesuai dengan nilai moral maka hati nurani kita akan memuji diri sendiri.
  • Nilai moral mewajibkan kita secara absolut. Hal ini jelas berbeda dengan nilai-nilai lain yang non-moral, seperti nilai estetis contohnya. Ketika kita mendengar lagu klasik Mozart dan tidak menikmati lagu tersebut, kita tentu saja tidak bisa dipersalahkan karena memang nilai estetis dari lagu tersebut tidak ā€œmewajibkanā€ kita untuk menyukai dirinya. Namun berbeda dengan nilai moral yang harus secara wajib diakui dan direalisasikan. Nilai moral menuntut semua rang untuk menjunjung tinggi dan mempraktekkan nilai moral. Nilai ini menyangkut pribadi manusia sebagai keseluruhan (totalitas). Kegagalan dalam mewujudkan nilai moral dapat merendahkan manusia sebagai manusia. Sedangkan nilai non-moral bila gagal dilaksanakan mungkin hanya akan berefek mengecewakan diri sendiri atau menimbulkan kerugian, namun tidak sampai menjatuhkan martabat manusia. Filsuf Jerman, Immanuel Kant, menyebutkan bahwa di dalam nilai moral terkandung suatu imperatif (perintah) kategoris, yaitu mewajibkan kita melakukan sesuatu tanpa syarat. Misalnya, kejujuran memerintahkan kita untuk mengembalikan barang yang dipinjam, suka atau tidak suka, maka wajib kita kembalikan tanpa syarat. Berbeda dengan nilai non-moral di mana di dalamnya terkandung imperatif hipotetis (ada syarat). Bila kita ingin menjadi juara kelas, maka kita harus rajin belajar. Keharusan ini berlaku dengan syarat: bila ingin menjadi juara.
  • Nilai moral bersifat formal. Nilai ini menduduki jenjang paling atas dalam hierarki nilai. Nilai moral direalisasikan dengan mengikutsertakan nilai-nilai lain dalam suatu tingkah laku. Nilai moral tidak memiliki ā€œisiā€ tersendiri apabila dipisah dengan nilai-nilai lain. Nilai moral ā€œmemboncengā€ nilai-nilai lain.

Kata norma berasal dari bahasa BelandaĀ norm,Ā yang berarti pokok kaidah, patokan, atau pedoman. Dalam Kamus Hukum Umum, kata norma atauĀ normĀ diberikan pengertian sebagai kaidah yang menjadi petunjuk, pedoman bagi seseorang untuk berbuat atau tidak berbuat, dan bertingkah laku dalam lingkungan masyarakatnya. Norma adalah bentuk nyata dari nilai-nilai sosial di dalam masyarakat yang berbudaya, memiliki aturan-aturan, dan kaidah-kaidah, baik yang tertulis maupun tidak. Norma-norma ini mengatur kehidupan manusia dalam bermasyarakat.Ā  Di dalam norma terkandung aturan-aturan dan pentunjuk kehidupan mengenai benar dan salah, baik atau buruk, pantas atau tidak pantas, yang harus ditaati oleh warga masyarakat. Jika norma itu dilanggar, si pelanggar akan terkena sanksi. Norma memiliki kekuatan yang mengingat dan memaksa pihak lain untuk mematuhi aturan yang berlaku. Jadi, secara sederhana pengertian norma adalah aturan yang mengandung sanksi. Terbentuknya norma didasari oleh kebutuhan demi terciptanya hubungan yang harmonis, selaras, dan serasi di antara warga masyarakat. Norma digunakan sebagai aturan atau kaidah yang kita pakai sebagai tolak ukur untuk menilai sesuatu. Kita dapat membedakan norma menjadi dua, yaitu norma umum dan norma khusus. Norma umum adalah norma yang menyangkut tingkah laku masyarakat secara keseluruhan. Norma khusus adalah norma yang hanya menyangkut aspek tertentu dari apa yang dilakukan oleh manusia. Contoh dari norma khusus adalah norma dalam pertandingan sepak bola. Saat pertandingan berlangsung, para pemain harus taat pada banyak norma. Namun ketika pertandingan selesai, norma-norma tersebut sudah tidak berlaku lagi. Dalam masyarakat terdapat 3 macam norma umum, yaitu norma hukum, norma kesopanan atau etiket dan norma moral.

Norma hukum adalah sekumpulan kaidah sebagai pedoman hidup yang bersumber dari undang-undang dan pemerintah. Akibat dari melanggar norma hukum adalah sanksi berupa hukuman penjara dan sebagainya (sesuai sanksi yang berlaku). Contoh penerapan norma hukum dalam kehidupan sehari-hari yaitu seperti mematuhi aturan lalu lintas ketika berkendara, tidak melakukan hal-hal yang melanggar hukum seperti pencurian, pembunuhan dan sebagainya.

Norma kesopanan atau etiket adalah aturan-aturan dalam masyarakat yang bersumber dari kebiasaan dan kepatuhan dalam masyarakat dalam hal ini berkaitan dengan adat di dalam masyarakat. Norma ini berisi tentang apa yang harus kita lakukan. Norma ini menjadi tolak ukur apakah perilaku kita sopan atau tidak, namun hal ini tidak sama dengan etis atau tidaknya suatu tindakan. Akibat dari melanggar norma kesopanan adalah dicemooh oleh masyarakat. Contoh penerapan norma kesopanan dalam kehidupan sehari-hari yaitu seperti mengucapkan salam ketika bertamu ke rumah orang lain, mencium tangan orang tua ketika ingin berangkat ke sekolah, sopan santun saat bertamu ke rumah orang, dan tidak membuang sampah di sembarang tempat.

Norma moral menentukan apakah perilaku kita baik atau buruk dari sudut etis.Ā Norma moral merupakan norma tertinggi sehingga norma ini menilai norma-norma lain. Seandainya ada suatu norma non-moral yang bersifat tidak etis, maka norma etiket itu harus kalah terhadap norma moral. Norma moral dapat dirumuskan dalam bentuk positif atau negatif.Dalam bentuk positif yaitu perintah yang menyatakan apa yang harus dilakukan.Dalam bentuk negatif yaitu larangan yang menyatakan apa yang tidak boleh dilakukan.

Banyak Sofis berpendapat bahwa moral didasarkan pada adat kebiasaan dan akibatnya mudah berubah. Namun, Plato dan Sokreates dengan tegas menekankan bahwa nilai dan normal moral tetap dan tak terubahkan. Relativisme moral dimaksudkan pendapat bahwa norma moral hanya berlaku untuk beberapa orang atau relatif terhadap kelompok tertentu saja dan tidak berlaku selalu di mana-mana. Moralitas dianggap sebagai suatu kebiasaan sehingga satu etika tidak lebih baik daripada etika lain.

Relativisme moral tidak tahan uji, kalau diperiksa secara kritis. Berikut ini kritik yang memperlihatkan konsekuensi-konsekuensi yang mustahil seandainya relativisme moral itu benar. Yang pertama, seandainya relativisme moral benar, maka tidak bisa terjadi bahwa dalam satu kebudayaan mutu etis lebih tinggi atau rendah dari pada dalam kebudayaan lain. Setiap mutu etis masyarakat tidaklah sama, maka kita berhak mengkritik masyarakat lain yang menggunakan norma-norma moral yang kita tolak.

Kedua, seandainya relativisme moral benar, maka kita hanya perlu memperhatikan kaidah-kaidah moral suatu masyarakat untuk mengukur baik tidaknya perilaku manusia dalam masyarakat itu. Semua kebudayaan tidaklah sempurna, dan sering kali kita beranggapan norma-norma dalam sebuah kebudayaan harus direvisi. Jika relativisme moral tersebut berlaku maka semua norma moral yang ada dalam masyarakat harus dianggap benar dan tidak dapat direvisi.

Ketiga, seandainya relativisme moral benar, maka tidak mungkin terjadi kemajuan di bidang moral. Kemajuan akan terjadi bila hal-hal yang buruk diubah menjadi hal-hal yang lebih baik. Jika relativisme moral berlaku semua kebudayaan dianggap sempurna, maka tidak ada pengubahan kebudayaan menjadi lebih baik. Sehingga karena tidak adanya perubahan maka tidak akan terjadi kemajuan di bidang moral.

Semua konsekuensi dari relativisme moral tadi tidak bisa diterima.Ā Menurut logika, kalau suatu pandangan membawa konsekuensi-konsekuensi yang tidak bisa dibenarkan, berarti pandangan itu tidak benar. Maka dapat ditarik sebuah pendapat bahwa relativisme moral tidak tahan uji. Maka norma moral tidak relatif, melainkan absolut. Bagi filsuf Yunani, norma moral seolah-olah tertulis sebagai suatu kaidah yang tetap dan tidak terubahkan. Namun sebenarnya norma moral tidak seabsolut yang dipikirkan para filsuf Yunani. Relativisme moral ada benarnya juga yaitu tidak selalu dan di mana-mana norma moral yang dipakai sama. Yang penting ialah perubahan norma moral tidak menempuh arah apa saja. Perubahan pada norma selalu menuju ke penyempurnaan norma. Perubahan norma ditentukan oleh norma yang lebih tinggi. Contoh konkret dari penyempurnaan norma ini adalah tradisi mercy killing pada orang Eskimo. Orang Eskimo membunuh orang tua mereka yang sakit karena mereka terlindung dari nasib yang lebih buruk (kedinginan, kelaparan dan menderita). Mercy killing ini dianggap sebagai suatu keharusan moral (norma moral konkret) yaitu atas dasar berbuat baik kepada sesama. Seiring berjalannya waktu, orang Eskimo diperkenalkan pada ilmu kedokteran dan obat-obatan sehingga kebiasaan berdasarkan norma konkret itu ditinggalkan. Dapat kita lihat dari contoh ini bahwa perubahan norma seperti ini mengarah ke penyempurnaan norma dan tidak bisa dibalik. Norma moral ini adalah sesuatu yang absolut dan tidak bisa ditawar-tawar.

Norma moral bersifat obyektif dan universal. Norma moralmewajibkan kita secara obyektif. Norma moral dapat bersifat obyektif karena kita tidak menciptakan norma itu sendiri dan tidak tergantung pada selera subyektif kita. Bukan manusia yang menentukan norma moral, melainkan nilai dan norma moral yang justru mewajibkan kita. Mau tidak mau norma moral itu harus diterima. Norma moral berasal dari kebebasan manusia. Suatu perbuatan moral baru boleh disebut moral kalau dilakukan dan diterima dengan bebas. Selain obyektif, norma moral juga bersifat universal. Universalitas norma moral berarti norma harus berlaku dimana saja dan kapan saja. Pertimbangan kritis dari universalitas norma moral adalah:

  • Perbuatan moral tidak tergantung dari situasi. Ada kasus di mana semua orang sepakat berlakunya norma universal misalnya dalam kasus terorisme yang mengakibatkan korban tidak bersalah. Norma selalu berlaku di mana-mana dan selalu sama. Malah bisa dikatakan bahwa tidak ada etika lagi apabila tidak ada norma umum. Etika justru yang mengandaikan adanya norma umum.
  • Namun kita juga harus menolak legalisme moral, yaitu suatu kecenderungan untuk menegakkan norma moral secara buta, tanpa memperhatikan situasi yang berbeda-beda atau ā€œunikā€. Mereka tidak mempertimbangkan faktor lain, layaknya suatu program komputer yang kaku. Tidak pernah norma moral diterapkan secara otomatis tanpa memandang situasi, norma moral selalu mempertimbangkan adanya keadaan yang berubah-ubah.
  • Norma tidak dipertanyakan, namun menjadi masalah bagaimana norma itu harus diterapkan. Misalnya pada suatu iklan bisnis, kita tidak dapat menilai apakah itu adalah suatu tindakan berbohong atau hanya tindakan yang sudah biasa dalam dunia bisnis. Hal ini mengakibatkan adanya konflik antara dua norma atau yang biasa disebut dengan ā€œdilema moralā€. Jika ada dua norma yang diwajibkan untuk dilakukan namun tidak dapat dipenuhi sekaligus, norma apa yang harus didahulukan. Norma yang lebih penting tentunya harus didahulukan dan norma yang lain terpaksa ditinggalkan.

Bagaimana kebenaran moral dapat diuji? Tentu dengan cara lain daripada memastikan kebenaran suatu pernyataan tentang fakta.Contohnya, sepeda motor mencapai 80 km/jam, tapi ternyata orang menggunakan lebih atau kurang dari 80 km/jam maka ungkapan tadi tidak benar. Kebenaran moral tidak bergantung pada kenyataan, karena norma itu adalah sesuatu yang normal, dan apabila demikian korupsi yang sudah merajalela adalah normal dan sesuatu yang baik.

Konsistensi adalah tuntutan dari logika. Konsistensi saja tidak cukup untuk memastikan kebenaran suatu norma moral. Tes yang paling penting yang kita miliki untuk menguji benar tidaknya norma moral adalah generalisasi norma. Mustahil norma hanya berlaku untuk saya dan hanya tidak berlaku untuk saya, norma moral pasti berlau untuk semua. Menurut Immanuel Kant, generalisasi norma ini sebagai konsekuensi dari inti etika itu sendiri, dan juga disebut sebagai the golden rule.

Dasar terpenting dari norma adalah martabat manusia. Menurut Kant, martabat manusia harus di hormati karena manusia adalah satu- satunya mahluk yang merupakan tujuan pada dirinya.Manusia adalah pusat kemandirian.Kita harus bisa membedakan antara harga dan martabat. Harga adalah sesuatu yang kita cari sebagai tujuan jadi harga bisa dibayar, dan bisa dirubah sesuai keinginan kita tetapi tidak berlaku untuk martabat.Contoh penerapan harga dalam kehidupan seperti, apabila kita ingin membeli komputer kita bisa memilih tipe dan sebagainya.Contoh penerapan martabat dalam kehidupan seperti, jika orang tua kehilangan anak-anaknya tidak bisa diganti memang mereka bisa memiliki anak lagi tapi tidak akan bisa mengganti anak yang meninggal.Kita tidak boleh membodohi orang lain karena kita harus menghargai martabat mereka, harus ada keterbukaan yang merupaan ciri khas etis. Manusia adalah bagian dari alam, maka alam itu tidak digunakan oleh manusia untuk keperluan manusia belaka dan alam tidak boleh dirusak.

Nilai dan normaĀ sesungguhnya merupakan dua mata sisi uang yang tidak dapat dipisahkan. KalauĀ nilai merupakan suatu yang dianggap baik, diinginkan, dicita-citakan, dan dianggap penting oleh masyarakat, maka norma adalah kaidah atau aturan yang disepakati masyarakat dan memberi pedoman bagi perilaku para anggotanya dalam mengejar suatu yang dianggap baik atau diinginkan itu. Bila dianalogikan dengan “minuman kopi”, kenimatan rasa kopi merupakan nilainya, sedangkan tindakan mencampurkan kopi dengan gula merupakan normanya. Secara bersama-bersama, nilai dan norma mengatur kehidupan msyarakat dalam berbagai aspeknya.

Dari penjelasan singkat di atas sudah menjadi jelas bahwa nilai merupakan sumber norma. Suatu masyarakat atau setiap orang menjalankan suatu norma demi mewujudkan nilai yang dicita-citakannya. Dalam prosesnya, pelanggaran terhadap norma mendatangkan sanksi tertentu. Itulah sebabnya, untuk mencegah terjadinya pelanggaran, setiap masyarakat memiliki sistem atau mekanisme kontrolnya sendiri, yang sering disebutĀ kontrol sosialĀ di antaranya : polisi, lembaga peradilan, lembaga keagamaan, masyarakat, kelompok sosial.

Kecocokan nilai dan norma tersebut dapat kita lihat dalam berbagai kasus dalam bidang kedokteran (biomedis). Dalam hal ini kelompok kami mengambil 2 contoh kasus yang marak diperbincangkan dan diperdebatkan yaitu aborsi dan euthanasia. Hubungan kasus-kasus tersebut dengan nilai dan norma adalah sebagai berikut:

a. Aborsi

Ringkasan kasus aborsi yang diambil dari Tempo edisi 3 Maret 2012:

Seorang dokter berinisial RD mengaku lupa sudah berapa janin yang sudah digugurkannya. Dokter RD sendiri sudah menjalani prakteknya sebagai dokter kandungan selama 30 tahun.

RD mengaku proses aborsi dilakukan atas analisis dirinya seorang diri. Polisi melakukan penyelidikan dengan membongkar septic tank yang diduga sebagai tempat pembuangan janin hasil aborsi dan menemukan 14 potongan tubuh.

Selain menemukan potongan tubuh janin, tim forensik juga menemukan tiga buah botol. Botol tersebut masing-masing berisi potongan tangan, tulang belakang, dan sisa kuretase janin.

Dari pengungkapan kasus ini, polisi mendapati barang bukti sejumlah alat medis yang digunakan untuk praktek aborsi yang dilakukan RD. RD dikenai Pasal 194 UU Nomor 36 Tahun 200c tentang Kesehatan subsider Pasal 348 KUHP. Para tersangka diancam hukuman 10 tahun dengan denda Rp 1 miliar.

Rumah RD yang digunakan sebagai tempat praktek khusus kandungan memang terkenal tertutup. RD merupakan dokter yang sering membantu warga yang ingin berobat tapi tak mempunyai uang.

Berikut adalah hasil analisis kami terhadap kasus pertama. Dari kasus aborsi di atas, kita bisa melihat dari sisi nilai dan norma. Pertama-tama, akan dibahas dari segi nilai. Seperti yang kita ketahui, Notonagoro membagi nilai menjadi 3 macam, yaitu nilai vital, nilai material, dan nilai rohani. Nilai rohani terbagi lagi menjadi 4, yaitu nilai kebenaran, nilai keindahan, nilai kebaikan/moral, dan nilai religius. Pada kasus di atas, pelanggaran terhadap nilai rohani lebih menonjol dibandingkan nilai lainnya. Nilai rohani yg pertama adalah nilai kebaikan atau moral.

Nilai kebaikan atau moral selalu bersumber pada kehendak dan kemauan manusia dalam bertindak. Nilai moral juga berhubungan erat dengan subjek.Ā Pada zaman sekarang ini, kasus aborsi mendapat pro dan kontra di masyarakat umum. Banyak negara yang secara hukum tidak mengizinkan aborsi, salah satunya adalah Indonesia. Hal itu dikarenakan tindakan penghentian kehamilan sebelum bayi lahir yaitu dibawah usia 20 minggu, bukan semata hanya untuk menyelamatkan jiwa ibu hamil yang sedang dalam keadaan darurat, tapi juga bisa karena sang ibu tidak menghendaki kehamilan itu.

Selain itu, nilai moral juga berkaitan dengan tanggung jawab. Tentu seorang dokter memiliki tanggung jawab untuk mencari jalan keluar terbaik untuk kesembuhan pasiennyatanpa melanggar kode etik kedokteran dan hukum yang berlaku.Nilai moral juga berkaitan dengan hati nurani. Saat akan menjalankan proses aborsi, baik sang ibu maupun sang dokter tentu memiliki perasaan tak nyaman sehubungan dengan hati nurani mereka.

Nilai yang kedua adalah nilai religius. Nilai religius adalah nilai kerohanian yang tertinggi dan mutlak. Contohnya, pandangan yang berbeda dari beberapa agama di Indonesia seperti agama Islam dan Katolik. Agama Islam mengajarkan bahwa aborsi yang dilakukan sebelum ditiupkannya roh kehidupan (sebelum janin berusia 4 bulan), maka diperbolehkan dengan syarat tertentu, misalnya aborsi dikarenakan mengancam nyawa ibu, aborsi tidak disengaja (keguguran), dan lainnya. Akan tetapi, jika aborsi dilakukan setelah janin berusia 4 bulan, maka dinyatakan haram menurut ajaran agama Islam. Berbeda dengan ajaran agama Katolik yang mengajarkan bahwa roh kehidupan sudah ada sejak bertemunya sel sperma dan sel ovum, oleh karena itu agama Katolik sangat menentang tindakan aborsi.

Sedangkan dari sisi norma, norma yang menonjol dari kasus ini adalah norma moral dan norma hukum. Norma moral menentukan apakah perilaku kita baik atau buruk dari segi etis, dan merupakan norma tertinggi yang tidak bisa ditaklukan pada norma lain. Beberapa orang menganggap aborsi merupakan hal yang tidak etis untuk dilakukan, kecuali aborsi tersebut ditujukan untuk indikasi medis (menyelamatkan nyawa ibu). Jika aborsi ditujukan untuk indikasi medis, maka aborsi tersebut sudah dapat diterima secara moral olehmasyarakat.

Norma hukum adalah norma yang hampir setiap hari kita jumpai. UUD merupakan norma hukum di Indonesia. Pada kasus aborsi seperti pada kasus di atas merupakan abortus provokatus yang merupakan kesengajaan pengguguran kandungan. Di Indonesia, kasus aborsi diatur dalam Buku II Bab XIV Pasal 299, Bab XIX Pasal 346, 347, 348, 349, Buku III Bab VI Pasal 535 Kitab Undang-undang Hukum Pidana. Pasal yang paling sesuai dengan kasus aborsi di atas adalah Pasal 346 yang berbunyi: “seorang wanita yang sengaja menggugurkan atau mematikan kandungannya atau menyuruh orang lain untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun”, serta Pasal 348 yang berbunyi: 1. ” Barang siapa dengan sengaja menggugurkan atau mematikan kandungan seorang wanita dengan persetujuannya, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun enam bulan”, 2. “Jika perbuatan itu mengakibatkan matinya wanita tersebut, diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun”.

Ā b. Euthanasia

Contoh kasus yang berjudul ā€œDoctorDeathā€ yang diambil darihttp://www.biography.com/people/jack-kevorkian-9364141:

Ā Jack Kevorkian adalah seorang dokter (pathologist) yang berasal dari Michigan. Ia dijuluki ā€˜doctor deathā€™ karena ia telah banyak melakukan euthanasia terhadap banyak pasiennya. Ia memang sering menangani pasien dengan penyakut terminal dan ia selalu mengabulkan permintaan pasiennya yang ingin mati. Dokter Jack ini juga memperjuangkan legalisasi euthanasia.

Salah satu kasusnya yang paling popular adalah saat ia memiliki pasien bernama Thomas Youk yang menderita penyakit Lou Gehrig. Saat itu, Kevorkian setuju untuk membantu mempercepat kematian Youk. Ia mengizinkan 60 Minutes untuk merekam dan menayangkan momen saat ia menyuntik mati Thomas Youk. Ia melakukan hal tersebut untuk mendorong public agar lebih memilih euthanasia daripada assisted suicide. Sejak saat itu Kevorkian divonis hukuman atas pembunuhan tingkat dua dan pemakaian zat mematikan secara illegal. Ia dihukum 25 tahun penjara.

Selain itu, saat diwawancarai oleh 60 Minutes, Kevorkian pernah mengatakan bahwa ia telah melakukan euthanasia pada sebanyak 100 orang lebih.

Berikut adalah hasil analisis kami terhadap kasus kedua. Pertama, kasus euthanasia bisa dilihat dari norma hukum. Di Indonesia sendiri, euthanasia sebenarnya dilarang. Kitab Undang-Undang Hukum PidanaĀ  (ā€œKUHPā€) mengatur tentang laranganĀ Ā melakukanĀ euthanasia. yakni dalam Pasal 344 KUHP yang bunyinya:ā€œBarang siapa merampas nyawa orang lain atas permintaan orang itu sendiri yang jelas dinyatakan dengan kesungguhan hati, diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun.ā€Namun pada kenyataannya, sebagian besar yang dihukum hanyalah euthanasia aktif, karena kasus euthanasia pasif sangatlah banyak dan sulit dijerat sebagai pelanggaran hukum maupun norma. Misalnya saat dokter mengabulkan permintaan pasiennya untuk pulang dan berhenti dirawat di rumah sakit meskipun pasien masih memerlukan perawatan intensif, itu juga tergolong euthanasia pasif.Jadi, euthanasia illegal di Indonesia, terutama euthanasia aktif dapat dipidana paling lama 12 (dua belas) tahun penjara.

Yang kedua kasus ini bisa dilihat dari norma moral. Norma moral adalah norma yang menentukan perilaku kita baik atau buruk.Norma moral dibagi menjadi norma moral positif dan negatif. Salah satu norma moral negative adalah jangan membunuh, norma ini sangat berkaitan dengan kasus euthanasia yang dilakukan oleh Dokter Jack Kervorkian. Selain itu sebenarnya norma moral juga ada 2 macam yaitu norma moral dasar dan norma moral konkret. Norma dasar diterima oleh semua orang sedangkan konkret ditolak oleh sebagian orang. Pada kasus ininorma konkret adalah bahwa Kevorkian (dokter) membunuh Youk (pasien) adalah keharusan moral (norma konkret), tapi tindakannya termasuk mercy killing karena sebenarnya yang dilakukan oleh Kevorkian adalah demi kebaikan Youk yaitu supaya Youk tidak tambah menderita, maka pada tindakan Kevorkian ada norma dasar yaitu bahwa dokter melakukan euthanasia untuk meringankan rasa sakit pasien. Oleh karena itu, sulit untuk mengatakan euthanasia benar atau salah karena norma hukum atau norma lain tidak bisa berjalan sendiri, melainkan harus bersama dgn norma moral.

Sedangkan dari sisi nilai, ada nilai yang berkaitan erat dengan kasus euthanasia ini yaitu, nilai kemanusiaan. Dokter wajib melakukan nilai kemanusiaan yaitu menyembuhkan orang, tidak membunuh. Nilai moral bersifat imperatif kategoris yaitu wajib dan tanpa syarat sehingga nilai moral ini harus dilakukan oleh semua orang tanpa terkecuali.

Euthanasia dapat dilakukan secara “sukarela,” “paksa” atau “nonvoluntary,” tergantung pada (a) kompetensi penerima, (b) apakah tindakan konsisten dengan keinginan dan (c) apakah penerima menyadari bahwa euthanasia harus dilakukan. Mengapa euthanasia penting? Ada tekanan yang meningkat untuk menyelesaikan pertanyaan apakah praktek ini harus diterima oleh masyarakat secara keseluruhan. Implikasi etika, hukum dan kebijakan publik dari pertanyaan-pertanyaan ini harus dipertimbangkan dengan hati-hati.

Tinjauan kritis dari kelompok kami:

  • Telah dikatakan di paragraf di atas bahwa jika ada dua norma yang diwajibkan untuk dilakukan namun tidak dapat dipenuhi sekaligus, norma yang lebih penting harus didahulukan. Hal ini masihlah susah untuk dimengerti karena tentunya tidak ada suatu tolak ukur dari tingkat kepentingan suatu norma. Bagaimana kita dapat mengetahui norma mana yang lebih penting karena norma sendiri bersifat relatif dan absolut. Apabila menurut orang tersebut norma yang lebih penting adalah suatu norma yang dapat merugikan lebih banyak orang, apakah keputusan yang dia ambil tepat?
  • Dalam uraian di atas jelas dikatakan bahwa relativisme moral ditolak sehingga norma moral bersifat absolut. Namun legalisme moral yang bekerja layaknya suatu program komputer juga ditolak. Kita ambil contoh suatu kasus di mana ada nenek miskin yang mencuri sebuah buah cokelat. Dari sudut pandang apa kita perlu menilai perbuatan nenek ini? Apakah dari relativisme moral yang mengatakan bahwa nenek ini miskin sehingga terpaksa dia harus mencuri sebuah cokelat untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Hukuman untuk para koruptor yang mengambil uang negara dalam jumlah besar saja ringan, bahkan ada pula yang dibebaskan. Mengapa si nenek yang hanya mencuri sebuah cokelat mendapatkan hukuman yang sama dengan para koruptor? Atau kita harus melihat dari sudut pandang legalisme moral di mana konteks mencuri dalam kedua kasus (koruptor dan nenek) dianggap sama dan dijatuhi hukuman yang sama pula? Bagaimana sebaiknya keadilan menilai kasus ini?

Kesimpulan

Manusia merupakan mahluk sosial. Oleh sebab itu, maka manusia akan menjalin relasi dan komunikasi satu sama lain. Dalam menjalin relasi dan komunikasi tersebut tentu saja dibutuhkan adanya nilai dan norma untuk mengatur pola yang baik. Nilai dan norma merupakan hal penting yang harus ada didalam masyarakat dan antara nilai dan norma selalu saling berkaitan sehingga tidak dapat dipisahkan. Seperti yang telah diuraikan diatas bahwa nilai merupakan suatu yang dianggap baik, diinginkan, dicita-citakan, dan dianggap penting oleh masyarakat, maka norma adalah kaidah atau aturan yang disepakati masyarakat dan memberi pedoman bagi perilaku para anggotanya dalam mengejar suatu yang dianggap baik atau diinginkan itu. Peran nilai dan norma secara umum adalah untuk mengatur pola kehidupan masyarakat agar pola perilaku yang ditunjukkan benar, seimbang, tidak merugikan, serta tidak menimbulkan ketidakadilan. Jika suatu daerah tidak terdapat suatu nilai dan norma sosial yang berlaku, pastilah daerah tersebut akan mengalami kekacauan dan pola kehidupannya akan mengalami penyimpangan.

Dalam bidang kedokteran nilai dan norma sangat diperlukan. Pada praktiknya, terdapat kasus-kasus yang harus dipertimbangkan dari pandangan nilai dan norma. Contohnya seperti kasus aborsi dan euthanasia yang telah dibahas sebelumnya. Dokter tidak hanya berurusan dengan masalah klinis saja, namun juga harus melihat pandangan nilai dan norma yang berlaku dalam menyelesaikan sebuah permasalahan.

Daftar Pustaka

  1. Dickens BM, Singer P, Boyle JM, Lavery JV. Bioethics for clinicians 11: euthanasia and assisted suicide. Can Med Assoc J. 1997;156:1405ā€“8.
  2. Littman LL, Zarcadoolas C, Jacobs AR. Introducing abortion patients to a culture of support: a pilot study. Arch Womens Ment Health. 2009;12:419ā€“31.
  3. Webster PC. Indonesia: stratified health the norm. Can Med Assoc J. 2013;185:E99ā€“100.
  4. Arisi E. Changing attitudes towards abortion in Europe. Eur J Contracept Reprod Health Care. 2003;8:109ā€“21.
  5. Melgalve I, Lazdane G, Trapenciere I, Shannon C, al et. Knowledge and attitudes about abortion legislation and abortion methods among abortion clients in Latvia. Eur J Contracept Reprod Health Care. 2005;10:143ā€“50.
  6. Choices NHS. Euthanasia and assisted suicide – NHS Choices [Internet]. 2015 [cited 2016 Jan 6]. Available from: http://www.nhs.uk/Conditions/Euthanasiaandassistedsuicide/Pages/Introduction.aspx
  7. Hans Jonas. The burden and blessing of mortality. Hastings Cent Rep. 1992;22:36
  8. K Bertens. Etika. 12th ed. Yogyakarta: PT Kanisius; 2013.
  9. K Bertens. Etika biomedis. 3rd ed. Yogyakarta: PT Kanisius; 2011.
  10. K Bertens. Filsafat barat kontemporer: Inggris-Jerman. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama; 2002.
  11. K Bertens. Sejarah filsafat Yunani: dari Thales ke Aristoteles. Yogyakarta: PT Kanisius; 1999.

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.