Pendidikan Karakter yang Membebaskan

Kover bukuWacana pendidikan karakter belakangan ini umumnya memosisikan pendidikan karakter sebagai “jalan keluar” bagi berbagai krisis moral yang sedang melanda bangsa Indonesia. Demikianlah, orang mengusulkan pendidikan karakter untuk mencegah perilaku korupsi, praktik politik yang tidak bermoral, bisnis yang culas, penegakan hukum yang tidak adil, perilaku intoleran, dan sebagainya.

Meskipun demikian, sejauh manakah pendidikan karakter telah dipahami? Apakah pendidikan karakter sama saja dengan pendidikan moral, pendidikan agama, pendidikan budi pekerti atau pendidikan kewarganegaraan? Apakah pendidikan karakter dapat diaplikasikan tanpa pengetahuan yang memadai tentangnya? Buku karangan Doni Koesoema A. berjudul Pendidikan Karakter. Strategi Pendidikan Anak Bangsa (2007) ini sangat membantu kita memahami apa itu pendidikan karakter sebelum mengaplikasikannya.

Tiga pertanyaan utama membantu kita memahami buku ini. Pertama, apa itu pendidikan karakter? Kedua, di manakah pendidikan karakter akan diaplikasikan? Ketiga, bagaimana mengevaluasi pendidikan karakter?

Memahami Pendidikan Karakter

Pendidikan karakter bagi Doni Koesoema adalah usaha yang dilakukan secara individu dan sosial dalam menciptakan lingkungan yang kondusif bagi pertumbuhan kebebasan individu itu sendiri (hlm 194). Inilah tesis yang dikembangkan Doni Koesoema, bahwa pendidikan karakter harus bersifat membebaskan. Alasannya, hanya dalam kebebasannya individu “dapat menghayati kebebasannya sehingga ia dapat bertanggung jawab atas pertumbuhan dirinya sendiri sebagai pribadi dan perkembangan orang lain dalam hidup mereka” (hlm 123).

Usaha Doni Koesoema menyajikan tinjauan historis atas pendidikan karakter (bab 1) memetakan dengan baik hubungan erat antara pendidikan karakter dengan pembentukan manusia ideal. Manusia ideal adalah manusia yang baik secara moral (hlm 13, 18-21), pribadi yang kuat dan tangguh secara fisik (hlm 15), yang mampu mencipta dan mengapresiasi seni (hlm 15), bersahaja, adil, cinta pada tanah air, bijaksana, beriman teguh pada Tuhan, dan sebagainya.

Pendidikan mencoba merealisasikan manusia ideal ini. Tentu berbagai tujuan pendidikan dapat menentukan bagaimana manusia ideal ini direalisasikan (lihat bab 2). Masyarakat dalam pemerintahan yang otoriter akan mendahulukan ketaatan pada negara atau patriotisme sebagai manusia ideal yang ingin diwujudnyatakan. Sementara masyarakat yang demokratis akan mengidolakan kebebasan individu sebagai karakter ideal yang ingin direalisasikan.

Di sini Doni Koesoema menunjukkan dengan tepat bahwa pendidikan sepenuhnya ditentukan oleh manusia, karenanya ia bersifat parsial dan kontingen dalam sejarah peradaban manusia (hlm 76-77). Pendidikan akan selalu dirumuskan dalam konteks ruang dan waktu tertentu, konteks di mana manipulasi atau politisasi terhadap pendidikan sangat mungkin terjadi. Berhadapan dengan relativitas pendidikan pada umumnya dan pendidikan karakter khususnya, pertanyaannya adalah apakah pendidikan karakter dilaksanakan semata-mata untuk merealisasikan manusia ideal tertentu sebagaimana dicita-citakan ideologi atau rezim penguasa tertentu?

Doni Koesoema berpendapat bahwa hanya melalui pendidikan sebagai proses pembebasanlah individu mampu membebaskan diri dari berbagai manipulasi dan rekayasa pendidikan oleh penguasa demi status quo (hlm 194). Pendidikan yang menonjolkan nilai keterbukaan dan demokrasi, misalnya (hlm 203), akan membantu individu menghayati hidupnya sebagai bagian integral dari masyarakat dan negara, yang memiliki hak untuk berpartisipasi dalam proses politik demi mewujudkan kesejahteraan bersama.

Pada tingkat individu, pendidikan karakter yang membebaskan akan membantu seseorang memahami determinisme dan segala kelemahan tubuhnya—faktor yang membuat seseorang mudah berperilaku tidak bermoral—agar ia bisa bertumbuh secara penuh sebagai manusia (hlm 82-8; 95-96). Melalui pendidikan yang membebaskan pula manusia mampu menegaskan komitmen-komitmen moralnya (hlm 91) dan terus mengobsesikan perilaku-perilaku ideal yang akan direalisasikan di masa depan (hlm 96-100).

Tanggung Jawab Semua Pihak

Locus educationis pendidikan karakter adalah sekolah (hlm 222-270). Semua pihak yang terlibat dalam di sekolah memikul tanggung jawab membangun pendidikan karakter (hlm. 165). Meskipun demikian, pendidikan karakter bukanlah sebuah mata pelajaran yang harus dihafal. Pendidikan karakter merupakan keseluruhan proses pendidikan yang dialami peserta didik sebagai pengalaman pembentukan kepribadian melalui memahami dan mengalami sendiri nilai-nilai, keutamaan-keutamaan moral, nilai-nilai ideal agama, nilai-nilai moral Pancasila, dan sebagainya.

Karena itu, meskipun lingkungan sekolah sangat berperan dalam pendidikan karakter, peran orang tua, masyarakat, dan negara tidak kalah penting. Nilai-nilai yang ditawarkan Doni Koesoema sebagai fondamen pendidikan karakter (hlm 208-211) tidak akan bisa terealisasi menjadi karakter individu jika tidak pernah dipraktikkan di rumah dan di masyarakat. Sebagai contoh, seorang anak sulit bersifat terbuka dan menghormati perbedaan jika orang tua di rumah biasa bersifat otoriter. Lebih parah lagi jika nilai-nilai semacam ini dipasung oleh rezim penguasa tertentu.

Keteladanan sebagai salah satu model pendidikan karakter (hlm 214-215) kiranya tepat dengan situasi negara kita. Orang tua yang gemar bekerja keras, disiplin, setiap pada nilai-nilai moral, agama, dan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan akan membantu pembentukan karakter seorang siswa. Demikian pula guru yang terbuka, dedicated, jujur dan adil atau masyarakat dan negara yang menjunjung tinggi kebebasan, demokrasi, multikulturalisme, keadilan sosial, dan sebagainya. Inilah lingkungan yang kondusif bagi pembentukan karakter sebagaimana dimaksudkan Doni Koesoema.

Sehubungan dengan pertanyaan ketiga yang saya ajukan di awal tulisan ini, sangat sulit melakukan penilaian terhadap pendidikan karakter. Di bab 9 buku ini Doni Koesoema hanya ingin menegaskan bahwa pendidikan karakter tidak bisa dinilai seperti menguji mata pelajaran lain. Kritik Doni Koesoema terhadap masalah Ujian Nasional (hlm 273-279) sepintas memang menggarisbawahi hal ini, tetapi tampaknya tidak berhubungan langsung dengan assessment terhadap pendidikan karakter. Sementara itu, penegasan bahwa pendidikan karakter harus bersifat membebaskan mengandung konsekuensi logis bahwa penilaian terhadap pendidikan karakter harus dilakukan oleh individu sendiri (hlm 279).  

Meskipun demikian, pendidikan karakter tidak lantas menjadi proses pembentukan watak pribadi yang subjektif sifatnya. Doni Koesoema berhasil menegaskan pentingnya perilaku standar yang dimiliki sekolah (hlm 284), bahkan di rumah dan di masyarakat. Perilaku standar inilah yang menjadi semacam life in common yang dibangun di atas nilai-nilai unggulan yang sudah disepakati dan yang pada gilirannya menjadi tolok ukur (benchmark) dalam menilai pendidikan karakter itu sendiri.

Catatan Penutup

Buku ini harus dipuji karena tiga hal. Pertama, Doni Koesoema berhasil mendeskripsikan pemikirannya dengan bahasa yang mudah dipahami. Ini akan sangat membantu para guru dan praktisi pendidikan yang selama ini mencari refensi-referensi seputar pendidikan karakter. Kedua, buku ini disusun secara sangat sistematis dan logis sebegitu rupa sehingga setiap bab merupakan satu kesatuan yang utuh. Karena itu, membaca buku ini harus tuntas dari awal sampai akhir tanpa bisa meloncati bagian tertentu.

Ketiga, keunggulan lain dari buku ini adalah dukungan yang kuat dari elemen-elemen filsafat pendidikan. Sejak awal Doni Koesoema menyadari betul bahwa konsepsi-konsepsi tentang pendidikan pada umumnya dan pendidikan karakter khususnya tidak bisa dilepaskan dari pemahaman mengenai siapa manusia, kebebasan, etika, paham tentang kodrat, dan sebagainya. Buku semacam ini pantas mendapat nilai sembilan.         Bagaimana pun juga, buku ini masih memiliki beberapa kelemahan yang harus diperhatikan. Pertama, tinjauan historis pendidikan karakter (bab 1) sebenarnya dapat dikeluarkan dari buku ini tanpa menggangu keutuhan konsep yang ditawarkan Doni Koesoema. Jika ini dilakukan, akan sangat membantu meringkas buku ini sehingga orang tidak bosan membacanya.

Kedua, buku ini  sebenarnya bisa disusun lebih aplikatif, misalnya dengan melampirkan contoh-contoh penilaian pendidikan karakter berbasiskan komitmen pada life in common. Lampiran yang dimaksud dapat disisipkan di belakang, mengganti posisi epilog yang sekarang ada, yang de facto tidak berhubungan langsung dengan materi yang dibahas dalam buku ini.

Ketiga, sayang sekali buku sebagus ini tidak memiliki indeks (nama dan istilah). Kalau nanti dicetak ulang, kesalahan cetak pada halaman 319 (baris kelima dan keenam) harus dikoreksi sekaligus menambahkan indeks dan foto pengarang. Molto bene, Doni Koesoema!

21 Replies to “Pendidikan Karakter yang Membebaskan”

  1. Buku ini memang luar biasa, saya seorang guru agama di BPK penabur dan sudah membaca buku ini, karena buku ini dilombakan dalam lomba resensi buku di penabur.
    kajian filosofis buku ini luar biasa dan yang selain sebuah paket komplit tentang pendidikan karakter buku ini jga mengelitik saya tentang perbedaan antara pendidikan nilai, moral, pendidikan agama dan pendidikan karakter. ada bagian buku ini yang menyatakan justru pendidikan agama yang bersifat personal dan fundamental tidak bisa jadi dasar yang tepat untuk pendidikan karakter. ini sebuah masukan yang luar biasa. karena ketika kami membangun pendidikan karakter khususunya di sekolah penabur, dasar-dasarnya masih memakai teks-teks dan rujukan alkitab ( karena kami protestan )
    thanks

    Suka

  2. pak untuk mendapatkan buku karakter bagaimana ? pada saat ini saya sedang melakukan penelitian untuk skripsi saya tentang pendidikan berbasis karakter

    Suka

  3. saya sangat fokus dengan pendidikan karakter dan saya yakin itu dapat di mulai dengan cara: guru membangun hubungan baik terlebih dahulu dengan siswa nya…kalau ada yg bminat untuk diskusi ttg pdidikan karakter,boleh email saya: lius_is@yahoo.com

    saya juga sedang membuat penelitian ttg “dampak hubungan yg positif antara guru dan murid terhadap pdidikan karakter” u/ tesis saya (walau msh mengalami byk hambatan ttg dasar2 teori nya..

    Suka

  4. Deny, buku itu bisa dibeli di toko buku Gramedia di mana saja. Kamu ada di mana? Kalau di daerah mungkin ada kesulitan membeli buku tersebut.

    Suka

  5. setelah saya baca resensi dari buka anda saya dapat tambahan pengetahuan tentang pendidikan karakter. terima kasih ya pak, silahkan kunjungin blog saya….

    Suka

    1. Selamat pagi Suptiyanto. Senang sekali bahwa Anda dan tempat kerja Anda tertarik dengan pengembangan pendidikan karakter. Saya saat ini memang mengajar pendidikan karakter tetapi di perguruan tinggi (Binus University), sejak tahun 2004. Sehari-hari saya juga adalah dosen tetap di Universitas Katolik Atma Jaya Jakarta. Saya tidak tahu, apakah memang yayasan Anda menginginkan masukan dari saya soal pengembangan pendidikan karakter? Kalau dari saya pasti telaahnya lebih ke teori-teori, karena saya bukan praktisi.

      Kalau berminat, kirim saja proposal atau tawaran tema seminar ke saya di alamat: Yeremias Jena, M.Hum, di Pusat Pengembangan Etika (PPE), Universitas Katolik Atma Jaya, Jl. Seodirman No. 51, Jakarta.

      Terima kasih….

      Suka

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.